Monday 2 March 2015

ADAT PERNIKAHAN SUKU TOLAKI

CIRI KHAS PERKAWINAN ADAT TOLAKI

Setelah postingan sebelumnya kita membahasa sejarah suku tolaki, maka pada kesempatan kali ini kita akan membahas sedikit tentang bagaimana struktur atau proses perkawinan adat suku tolaki…. Cekidot…!!!

Seperti kita ketahui bersama bahwa, suku-suku bangsa yang tersebar dimuka bumi Nusantara tercinta ini, bahkan mungkin dibelahan dunia sekalipun, pasti memiliki acara upacara adat atau kebiasaan-kebiasaan perkawinan adat menurut tradisi leluhurnya masing-masing. Demikian pula suku bangsa Tolaki memiliki acara upacara adat perkawinan dengan cirri khas tersendiri yang membedakan dengan suku-suku bangsa lainnya ialah adanya orang Tolaki menggunakan benda adat Kalosara dalam setiap prosesi acara upacara adat perkawinan Tolaki (Muslimin Suud 2005). Adapun perkawinan Adat Tolaki memiliki istilah ialah, Medulu yang artinya berkumpul, bersatu, dan Mesanggina yang berarti bersama dalam satu piring,” sedangkan istilah yang paling umum dalam masyarakat adat Tolaki adalah Merapu atau Perapua yang berarti Merapu, keberadaan suami, istri anak-anak, mertua, paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, nenek, dan cucu adalah merupakan suatu pohon yang rimbun dan rindang, (A. Tarimana 1984). Selain pengertian perkawinan diatas ada lima atau tahapan prosesi acara upacara Adat perkawinan Tolaki Pertama,”Metiro atau Menggolupe” yang artinya mengintip meyelidiki calon istri. Kedua,”Mondutudu” yang artinya malamar jajakan. Ketiga,”Melosoako” yang artinya melamar sesungguhnya. Keempat,”Mondonggo Niwule” yang artinya meminang. Kelima,”Mowindahako” yang artinya menyerahkan pokok Adat, dilanjutnya acara pernikahan. Semua tahapan prosesi Adat disebutkan diatas, kecuali tahapan ” Metiro atau Monggolupe” diperankan Oleh “Tolea” dan Pabitara, dengan selalu ditampilkan menggunakan pranata Kalo”.
Apa maksud ditampilkan Adat Kalosara, dalam acara upacara Adat Perkawinan Tolaki? Menurut pandangan orang Tolaki bahwa, suatu perkawinan merupakan sesuatu yang “Sakral”. Betapa tidak melibatkan kedua belah pihak keluarga besar, jika tadinya saling “cuek” alias kurang intim atau tidak saling kenal, kini disatukan menjadi “suatu kekuatan” dalam kesatuan rumpun keluarga besar posisinya adalah sebagai perkawinan yang akrab dan mulia bagi kehidupan membina keluarga agar hidupnya bahagia lahir dan batin. Selain pandangan diatas, kedudukan pihak keluarga wanita pada dasarnya adalah, pihak yang “ditinggalkan derajatnya”. Itulah sebabnya Adat Kalosara sebagai symbol “Kebesaran” orang Tolaki itu, wajib digelar dihadapan keluarga besar wanita tersebut. Pengertian dan Kedudukan Kalosara Dalam Perkawinan Adat Tolaki. Ketika berbicara Kalo sebagai bahasa simbolik dalam kehidupan sehari-hari orang Tolaki, disini penulis batasi fungsi Kalo dalam pengertian sempit, hanya membicarakan urusan adat istiadat Tolaki, seperti urusan “Perapua” atau perkawinan, tidak membahas makna filosofi dalam arti luas. Apa sebab ? Karena membicarakan Kalo umumnya terdiri dari banyak macam. Seperti misalnya jika anda menjumpai Kalo sebagai benda, cukup “Kalo” saja. Beda sebutannya ketika benda Kalo digelar pada prosesi adat istiadat seperti acara “mowindahako”, disana disebut “Kalosara”. Hakikat Kalosara terdiri : wadah anyaman, kain putih dan rantai yang dililit terdiri tiga buah itu. (terlampir gambar Kalosara).
Kini diuraikan benda Kalo berdasarkan bahan pembuatannya. Bahan baku utama benda Kalo diperoleh dari alam alias hutan belantara. Secara harfiah Kalo adalah benda yang berbentuk lingkaran dari rotan kecil pilihan disebut “Uewai” dipilih tiga buah. Cara dibuat dengan lingkaran lilitan atau dipilin dari arah kiri ke kanan disebut “Kalohana”. Tiga jalur itu berbentuk lingkaran bundar atau sirkel sesuai ukuran yang sudah ditentukan. Ada dua jenis bentuknya. Jika garis menengah 45 cm disebut “Tehau Bose”, Kalo ini diperuntukan pejabat Bupati keatas. Sedangkan ukuran 40 cm disebut “Meula Nebose” diperuntukan pejabat Camat kebawah.
Setelah itu ada dua model ikatan ujung Kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol sedangkan yang dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi , maka model Kalo ini diperuntukan masalah adat istiadat seperti perkawinan dll. Adapun makna yang menonjol, ujung rotan itu adalah penghargaan pihak penerima. Sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri pihak pengaju.
Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka 8, maka benda Kalosara tersebut dipergunakan khusus acara upacara adat “mosehe” dalam hal ini seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain. Inilah yang dimaksud pengertian Kalo dalam arti luas, disana banyak dibicarakan baik Kalo sebagai “konsep” maupun Kalo sebagai bahasa “simbolik” (A. Tarimana, 1985). Berkaitan fungsi Kalo diatas orang Tolaki masih menganggap Kalo sebagai “kramat dan sakti” yakni keberadaan benda Kalo mampu mempersatukan baik keinginan / cita-cita maupun melindungi hak-hak asasi setiap anggota masyarakat Tolaki. Namun hanya benda Kalo yang “sakti” itu mamppu menyatukan warga Tolaki dimanapun mereka berada hingga hari ini (Arsamid Al Ashari, 2011). Pertanyaan berikutnya, dalam kedudukan Kalosara dalam perkawinan Adat Tolaki, mengapa harus “Wajib” disunguhkan Adat Kalosara dalam prosesi Adat perkawinan? Karena dengan menggelar prosesi Adat Kalosara ialah sebagai hukum Adat-Istiadat atau Norma Adat dimana kedudukannya sebagai alat “legitimasi” atau pengesahan perkawinan Adat Istiadat itu sendiri. Intinya adalah “Membangun dan membina Rumpun Keluarga”, yang mungkin pernah hilang misalnya, serta mempererat tali silaturahmi. Maka wajib melewati suatu prosesi Adat Kalosara sebagai simbol penghormatan tertinggi sebagaimana disebutkan diatas. Kemudian dalam perjalanan sejarah Kalosara sebelum ajaran “agama Samawi “ masuk di wilayah Andolaki, menjadikan norma Akidah, kemudian diwujudkan Sara atau O’Sara sebagai nilai dan norma Adat yang harus ditaati. Itulah sebabnya ketika prosesi Adat perkawinan Tolaki yang digelar disaat acara upacara Mowindahako harus didahulukan pelaksanaannya. Kemudian dilanjutkan acara upacara pernikahan menurut syariat Islam yaitu pembacaan akad nikah dan ijab Kabul. Berbicara perkawinan Islam, sah perkawinan tersebut apabila ada dua orang saksi dari pihak keluarga laki-laki dan saksi dari pihak keluarga wanita, maka resmilah Pasutri membina rumah tangga tersebut. Akan halnya pandangan orang Tolaki, selain dihadirkan saksi kedua belah pihak keluarga tersebut diatas, belum “sah” atau belum diakui sebelum digelar perkawinan adat Tolaki. Tujuan digelar adat Kalosara adalah sebagai norma adat. Setelah itu wajib pula penyerahan “Popolo” membayar mas kawin, dilanjutkan acara “Tekonggo” yang artinya menggelar pesta besar atau kecil sebagai pengakuan masyarakat luas bahwa perkawinan tersebut resmi atau sah menurut perkawinan Adat Tolaki. Kemudian jika ada anggota masyarakat Tolaki melakukan perkawinan diluar adat tersebut diatas alias melanggar adat, maka patut dipertanyakan keberadaannya. Prosedur dan Tata Cara Menggelar Acara Upacara Adat Perkawinan Tolaki adalah penggunaan benda Adat Kalo dalam acara upacara Adat perkawinan Tolaki. Dimana berperannya kedua perangkat Adat “Tolea” dan “Pabitara”. Posisi mereka sebagai “Sutradara” mengatur jalannya “Mombesara”, menegakkan hukum Adat “Selewatano” atau “Tetenggona Osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh.
Adapun wajib isi adat dipenuhi adalah 4 pokok adat
(1) “Pu’uno Kasu” yang artinya isi pokok adat terdiri : seekor kerbau, sebuah gong, emas perhiasan wanita dan satu pis kain kaci. Yang tiga diatas dapat disubtitusi  Rp. 25.000, kecuali kain kaci tetap ditampilkan
(2) “Tawano Kasu” artinya daunnya 40 buah sarung adat
(3) “Ihino Popolo” artinya seperangkat alat sholat sebagai mas kawin, serta biaya pesta dan
(4) “Sara Peana” artinya benda-benda adat pakaian wanita sebagai bentuk penghargaan orang tua atas pengasuhnya.
Jika dijumpai tidak terpenuhi benda-benda adat misalnya, bukan empat isi pokok Adat diatas, maka berlaku semangat kekeluargaan yaitu prinsip “Mesambepe Meambo” artinya musyawarah mufakat dimana Kalosara sebagaimana jati diri dan karakter suku Bangsa Tolaki Kalosara yaitu “Nggo Mokonggadui O’Sara” artinya semua “perlakuan” diatas yang “menggenapkan” adalah adat atau Osara.
Satu lagi upacara Adat perkawinan yang sering dijumpai dalam masyarakat Tolaki. Disana ada system adat disebut perkawinan “Morumbadoleesi” yang artinya melaksanakan dua macam acara dalam waktu bersamaan yakni acara “Mendutudu” dan acara “Mondongo Niwule”. Perkawinan “Morumbadoleaha” yakni melksanaklan tiga macam acara dalam waktu yang bersamaan yaitu acara “Mondutudu, Mondongoniwule dan Mowindahako”. Disinilah adat perkawinan Tolaki dapat mengikuti perkembangan zaman. Jika tadinya 5 tahapan dapat dilakukan diasaat “Mowindahako” waktu bersamaan 4 tahapan tersebut.
Dari pelaksanaan perkawinan adat Tolaki diatas ketika mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi komunikasi bahwa “Mowindahako” orang Tolaki itu, semua bisa diatur asal isi pokoknya adat wajib dipenuhi. Disinilah peranan Tolea sebagai “negosiator”. Boleh jadi popolo bisa ringan, berlaku asas musyawarah mufakat kedua belah pihak. Apalagi pihak keluarga wanita memahami “siapa” calon mantu tersebut?. Menurut pandangan orang Tolaki, ketika “Mowada Popolo” tidak mengenal “Meoli O’ana” yang artinya membebani pihak keluarga pria membayar biaya popolo misalnya.
Wanita Yang Pantang Dijadikan Istri Barangkali hampir semua suku-suku bangsa yang ada di belahan dunia memiliki “perkawinan terlarang” ? Apalagi berbicara keberadaan suku-suku bangsa di Indonesia, sangat memahami masalah “inces tabu”, maksudnya jika terjadi perkawinan “terlarang” akan mendapat kualat, kutukan atau dosa berjamaah dari orang tua, membawa aib keluarga, bahkan rusak nama baik sekampung tersebut.
(1) Kawin dengan ibu kandung atau ibu tiri,
(2) Kawin dengan anak kandung atau anak tiri,
(3) Kawin dengan bibi kandung,
(4) Kawin dengan saudara kandung.
Ketika Anggota Masyarakat Melangkahi Upacara Adat Perkawinan Tolaki, Ada lima “Model” perkawinan tidak normal bagi mereka cewek maupun cowok anak muda Tolaki, baik dahulu kala maupun dewasa ini yang dikategorikan “Melanggar” hukum adat perkawinan.
(1) Kawin lari alias silariang
(2) Kawin sudah hamil diluar nikah
(3) Kawin rampas disebut “Mombolasuako Luale
(4) Kawin dilaporkan kepada orang tuanya karena sesuatu hal
(5) Kawin tertangkap basah ketika sedang Indehoi atau berhubungan seks.
Dari semua perilaku kawin tidak normal diatas, tidak bisa ditolerir harus diselesaikan secara adat. Catatan ada yang kawin resmi lewat KUA namun tidak melalui kawin Adat Tolaki disini perlakuan tersendiri. Adapun cara penyelesaian adat tersebut, melalui upacara “Mesokei” artinya datang “Membentengi” untuk suatu upaya membujuk pihak keluarga wanita yang dipermalukan itu dengan membayar sejumlah ganti rugi. Disini pula wajib menggelar Kalosara, tujuannya mencegah perselisihan paham alias bombe yang mungkin bisa berujung pertikaian diantara mereka. Selanjutnya tujuan pelaksanaan Adat perkawinan tersebut adalah dalam mengukuhka kedudukan “Masyarakat Hukum Adat” sebagaimana disebutkan diawal tulisan. Kemudian dikaitkan dalam penerapan hukum Adat Tolaki yang selalau ditaati anggota masyarakat yaitu sebagaimana terurai dalam falsafah puitis Tolaki, “Inae Kona Sara Iyeto Pinesara Inae Lia Sara Iyeto Pinekasara”. Artinya siapa yang menghargai adat, dia akan dihormati, siapa yang tidak menghargai adat, dia tidak akan dihormati.

Bagaimana saudara pemaca, setelah membaca postingan di atas, apakah ada di antara kalian yang ingin atau berminat meminang pasangan dari suku tolaki??? Heheh
:D 

STRUKTUR KELUARGA SUKU MORONENE

Rumah Tangga Suku Moronene

Setelah pada posting sebelumnya penulis telah menulis tentang SEJARAH SINGKAT SUKU MORONEN, maka pada kesempatan ini penulis akan coba berikan bagaimana rumah tangga suku morornene.
Berbicara tentang rumah tangga, tentunya semua orang pada khususnya menginginkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahma. Begitupun dengan suku moronene, hidup berkerabat, akrab dan saling menjaga satu sama lain itu sudah menjadi tanggung jawab yang di turunkan dari leluhur. Anak di wajibkan untuk brsekolah, menuntut ilmu agama dan lain sebagainya. Ras dari suku morornene hampir 76% berkulit putih. Tempat tinggal asli dari moronene itu masih menggunakan rumah panggung, hala tersebut jika di lihat pada masa lampau, namun sekrang tidak domainan lagi yang menggunakan rumah panggung, karna system perbandingan tingkat kesulitan mendapatkan bahan material untuk membangun rumah panggung itu cukup sulit untuk mendaptkanya, maka penduduk mulai beralih ke rumah permananen.
Contohnya saja di pulau kabaena, memang sih di sana rumah yang dominan itu rumah panggung, tapai harus di ingat bahwa rumah tersebut sudah berdiri sejak lama, tepatnya mungkin pada saat belum di kenalnya PolHut. Namun setelah adanya polhut biaya mendapatkan bahan materialnya bisa di bilang dua kali liapat. Jadi sekarang di sana sudah mulai beralih dengan rumah permanaen, di tambah lagi dengan ada pengajuan proposal, bahwasanya kabaena akan berdiri sendiri sebagai daerah Kepulauan. Syukur Alhamdulillah, semoga bisa di realisasikan dengan baik.
Susunan masyarakat suku Moronene adalah berdasarkan penilaian darah yang dibagi atas:
Ø  Mokole, yaitu golongan bangsawan, dan puteranya diberi gelar Ndau dan putrinya diberi gelar Mbisi. Atau lazim juga gelar untuk keduanya adalah anamea.
Ø  Limbo, yaitu golongan pemangku adat yang menentukan dan mengangkat raja (untuk memerintah)
Ø  Sangkinaa, yaitu golongan rakyat biasa
Ø  Ata, yaitu golongan budak, terbagi atas 2 yaitu Karena turunannya, biasanya tinggal disekitar rumah raja untuk selalu mengabdi kepada raja atau tinggal di dalam rumah raja yang lazim disebut kungku holue (tukang masak). Yang Kedua Karena tidak dapat bayar hutangnya, sehingga harus tinggal disekitar rumah raja atau orang yang telah dibayarkan hutangnya sehingga lazim disebut tepo’ata.
Orang Moronene kebanyakan adalah pemeluk Agama Islam dan selain itu ada juga yang memeluk Agama Kristen. Walaupun mereka sudah memeluk agama Islam atau Kristen, tetapi masih juga dijumpai unsur-unsur agama suku. Unsur-unsur itu muncul dalam beberapa upacara adat yang masih juga dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkungan hidup individu, seperti antara lain pada acara pinokompopinda pali. Selain itu, unsur-unsur itu juga tampak dalam beberapa upacara adat yang sampai sekarang masih dilakukan orang berhubungan dengan pertanian, sedangkan unsur yang sama juga tampak dalam ilmu dukun yang sampai sekarang masih hidup.
Dalam ilmu dukun atau pada saat melaksanakan ritual peralihan dalam upacara perkawinan kita akan mendengar serangkaian kalimat yang diucapkan oleh dukun atau Tolea yang dimulai dengan hitungan : asa-orua-otolu-opaa (satu-dua-tiga-empat) yang diucapkan empat kali. Adapun hitungan tersebut adalah melambangkan nama empat dewa yang diutamakan dalam upacara pemujaan, yang biasa dilakukan oleh suku Moronene di waktu dulu.

Adapun Keempat Dewa Tersebut adalah :
  1. Sangia Laamoa, atau sering disingkat Laamoa yang artinya sangia (dewa), Laamoa (udara), yaitu dewa yang menguasai udara. Diyakini bahwa dewa tersebut sering mendatangkan penyakit cacar, penyakit panas dan sejenisnya.
  2. Sangia mponga’e, yaitu dewa perang yang diyakini bahwa dewa tersebut dapat menjadikan orang berani menghadapi bahaya terutama pada saat perang. Demikian juga bila seseorang sedang marah, dengan emosi yang sangat tinggi mukanya akan kelihatan merah dan akan merasa panas sehingga pingsan. Oleh karena itu diyakini pula bahwa dewa tersebut adalah dewa yang menguasai api (dewa api = sangiano api).
  3. Sangia I’olaro, yaitu dewa laut atau sangia laa dan sering disingkat laa yaitu dewa air yang mengusai laut dan air. Diyakini bahwa dewa tersebut sering mendatangkan sakit kuning, bengkak badan, dan lain-lain.
  4. Sangia tumondete atau sering juga disebut sangiano wita yaitu dewa tanah yang menguasai tanah. Diyakini bahwa dewa tersebut sering mendatangkan penyakit luka/borok yang sukar disembuhkan.
Selain keempat dewa tersebut diyakini juga adanya dewa yang tertinggi yaitu disebut sangia damontoe yang artinya dewa yang berada ditempat yang maha tinggi (dewa alam atas) yang lazim disebut Apu yang artinya Tuhan. Pemujaan terhadap keempat dewa tersebut dilakukan melalui doa-doa dengan harapan akan memperoleh kebebasan petaka atau keadaan yang menyedihkan. Selain itu juga untuk menolak bencana yang diyakini akan menimpah diri seseorang, mentawarkan atau menetralisir kekuatan gaib yang membahayakan. Demikian juga diyakini bahwa hitungan asa-orua-otolu-opaa yang melambangkan nama keempat dewa tersebut adalah sejalan dengan pandangan hidup yang mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari empat unsur yaitu tanah, air, api, udara.

Suku moronene sangat mengahargai sesamanya, terhadap suku lain, satu hal pasti ketika kita berada di sekeliling mereka, kita akan merasakan aman jika kita menghargai mereka, namun sebaliknya jika kita memiliki sifat buruk mereka akan lebih buruk lagi. Jadi intinya tergantung bagai mana cara kita masing-masing.
Dalam pergaulan sehari-hari dijumpai bahwa pada umumnya masyarakat suku Moronene itu peramah, muda menghormati yang tua, suku menjalin persahabatan. Beberapa istilah sopan santunnya antara lain :
Ø  Ampadea : berlaku sopan, contoh bila orang tua sedang berbicara, anak-anak tidak boleh ikut campur (ikut berbicara). Bila duduk menghadap Raja, kaki dan tangan dilipat.
Ø  Tabea : diucapkan bila lewat di depan orang.
Ø  Paramisi : diucapkan bila hendak mau pulang usai bertamu.
Ø  Mo’antani : menyuguhkan sirih pinang bila ada orang yang bertamu dirumah (bagi yang makan sirih).
Ø  Mo’mpoluluako : menyuguhkan rokok (bagi yang merokok) bila ada orang yang bertamu dirumah.
Ø  Konianto’u : sifat terpuji, seperti jujur, rajin, dan tekun mengerjakan suatu pekerjaan.
Ø  Metokia : menjalin persahabatan antara dua orang pria yang baru berkenalan. Kedua orang tersebut bila bertemu akan selalu saling menyapa tokia yang artinya sobat/sahabat.
Cara mencari nafkah di dalam system kekeluargaan moronene yakni dimana suami dan istri sama-sama mencari nafkah seperti dalam pertanian. Suami dan istri akan bekerja bersama-sama di ladang atau di sawah seperti mencangkul, menanam, menyiangi, dan menuai.
Semoga bermanfaat saudara pembaca, kalau ada yang ingin berkunjung ke daerah yang di diami suku moronene, monggo, silahkan, mereka akan membukakan pintu, di sana juga terdapat banyak monument bersejarang, gua dan lain-lain. Khususnya di daerah pulau kabaena yang eksotik. Ini sekalian promosi dari penulis hehehe


Wassalam…!!!

Sunday 1 March 2015

TENTANG SUKU MORONENE

SEJARAH SINGKAT SUKU MORONEN
Pada kesempatan kali ini penulis akan coba memaparkan sedikit mengenai suku moronene, langsung saja di ssimak.
Suku Moronene adalah suatu suku yang mendiami wilayah pada bagian ujung selatan Sulawesi Tenggara. Sebelum kata Moronene, digunakan Wonua Bombana/Wita Moronene, yaitu kerajaan Moronene seperti yang dituturkan dalam cerita sastra moronene. Didalam cerita legenda ini ceritakan bahwa kerajaan Moronene diperintah oleh seorang Raja yang bernama Tongki Pu’u Wonua. Tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa orangnya, hanya dituturkan bahwa beliau adalah seorang keturunan Raja dari sebuah kerajaan.
Nama Moronene telah lazim digunakan untuk nama bahasa dan nama suku yang dahulunya terhimpun dalam satu wadah Kerajaan yaitu Kerajaan Moronene. Secara etimologis istilah Moronene berasal dari dua kata yaitu moro yang artinya sejenis, serupa, dan kata nene adalah nama tumbuhan resam batangnya dapat dibuat pengikat pagar, atap dan lain-lain. Lingkungan habitat yang terdiri dari pulau Kabaena dan ujung daratan Sulawesi Tenggara dengan topografi yang sebagian besar bergunung-gunung dan ditumbuhi hutan dan ilalang (lueno) berpengaruh terhadap sistem mata pencaharian penduduk. Karena sebelum ditemukannya emas pada tahun 2008 silam, masyarakat moronene selalu berladang dan bersawah pada daerah-daerah yang subur, sebagian penduduk hidup berburuh di padang (lueno) yang kaya akan rusa, anoa, dan kerbau hutan. System perkembangan ekonominya juga menerapkan system jual beli dengan pedagang di sekitar pantai pada saat itu, yang kemudian juga biasa di lakukan system barter seperti zaman belanda.
Persebaran suku moronene terus berkembang di sekitar daratan Sulawesi tenggara, misalnya kabaena yang pada saat itu masih mengatas namakan kabupaten butun, namun dengan perkembangan dan berbagai macam factor dan alas an sehingga kabaena kemudian masuk dalam daerah kabupaten bombana. System pemerintahan suku moronene masih menganut kerajaan, yang mana raja di sini sebagai penguasa terbesar di suku moronene, kalau sekarang bisa di bilang Bupati.
Di pulau kabaena tepatnya pada saat itu, bupati Atiku Rahman pernah mencoba mengeluarkan satu gagasan bahwa beliau akan mengangangkat dirinya sebagai raja, padahal persyaratan utama seorang raja untuk suku moronene paling tidak harus bersal dari keturunan tulen darah moronene. Tapai berbanding terbalik dengan hal itu, Bapak Atiku rahman merupakan seorang pria yang berdarah tulen Suku Bugis. Maka dari itu, seluruh masyarakat kabaena sangat menolak adanya gagasan tersebut, sehingga batalah keinginan beliau untuk menjadi seorang raja.


SEMOGA MENAMBAH WAWWASAN…!!!

TENTANG SUKU TOLAKI (about story)

SUKU TOLAKI

Tolaki merupakan salah satu kelompok etnis mayoritas di Sulawesi bagian selatan. Bahasa mereka disebut Bahasa Tolaki, dan masyarakatnya juga dikenal dengan nama itu. Mereka tidak menjadi bingung dengan Lolak di Sulawesi bagian utara. Tolaki terdiri atas beberapa sub-kelompok, termasuk Bingkokak. Sedikit saja yang diketahui tentang gaya hidup dan budaya mereka, tetapi diduga bahwa cara hidup mereka sangat mirip dengan etnis tetangga mereka, Pancana dan Maronene.
To’olaki, Lolaki, Lalaki, Laki, Kolaka, “Noie”, “Noihe”, “Nehina”, “Nohina”, “Nahina”, “Akido”, 281,000, termasuk 230,000 Konawe, 50,000 Mekongga, 650 Asera, lebih sedikit dari 100 Wiwirano, 200 Laiwui (1991 D. Mead SIL). Sulawesi Tenggara, Kendari dan Kolaka. Mekongga di Pegunungan Mekongga di pinggiran barat dekat Soroako. Austronesia, Malayo-Polynesia, Malayo-Polynesia Barat, Sulawesi, Sulawesi Tengah, tengah Barat, Bungku-Mori-Tolaki, Tolaki. Dialek: Wiwirano, Asera, Konawe (Kendari), Mekongga (Bingkokak), Norio, Konio, Tamboki (Tambbuoki), Laiwui (Kioki). Wiwirano memiliki 88% kemiripan bahasa dengan Asera, 84% dengan Konawe, 85% dengan Mekongga, 81% dengan Laiwui, 78% dengan Waru, 70% dengan Rahambuu dan Kodeoha, 54% dengan Mori dan Bungku. Mekongga memiliki 86% kemiripan dengan Konawe, 80% dengan Laiwui. Tes kejelasan dibutuhkan dengan dialek yang tersusun diatas, Mekongga, dan Waru. Nama-nama negatif tidak lagi dipergunakan. Wiwirano hanya dituturkan oleh para ketua Kamus Tatabahasa.
Sulawesi merupakan sebuah pulau dengan panjang garis pantai sekitar 3.500 mil, terdiri atas empat semenanjung utama yang terpisahkan oleh teluk dalam, dengan dua semenanjung mengarah ke selatan dan dua lainnya ke utara. Di bagian selatan pulau ini terdapat salah satu gunung tertinggi, yaitu Gunung Lompobatang, sebuah gunung api pasif yang mencapai ketinggian 9.419 kaki.
Meskipun beriklim tropis, daerah ini dipengaruhi oleh ketinggian dan kedekatan dengan laut. Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di ladang menjadi makanan pokok, tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka macam sayuran, tembakau, dan kopi. Rumah mereka yang umumnya berbentuk rumah panggung tersebar diantara lahan-lahan yang telah dibuka. Rumah-rumah tersebut umumnya terbuat dari daun nipa yang dianyam dan memiliki atap yang tinggi. Perbedaan kelas sosial, dengan bangsawan atas, bangsawan bawah serta masayarakat biasa, masih dipegang teguh oleh kebanyakan komunitas di Sulawesi. Tiap kelas sosial biasanya memiliki cara bersikap mereka sendiri, diantara berbagai macam budaya dan tradisi. Wilayah dibagi menjadi desa, dan hak pemanfaatan lahan diatur oleh lembaga desa. Akan tetapi, lembaga tersebut pada akhirnya memegang kepemilikan atas lahan.
Tradisi perkawinan etnis Tolaki mensyaratkan pembayaran kepada keluarga Si gadis pada saat pertunangan dan perkawinan. Nilai mahar tergantung pada tingkatan sosial dari Si pemuda. Sebelum perkawinan, pemuda tersebut harus melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, dan persyaratan ini memperkuat tingkatan pertunangan yang lebih tinggi. Dahulu, para budak dan turunan mereka tidak diperbolehkan kawin satu sama lain, meskipun mereka bisa hidup bersama. Juga, perempuan bangsawan tidak boleh menikah dengan orang jelata. Poligami (memiliki istri lebih dari satu) umum terjadi antar bangsawan, tetapi sekarang tidak lagi dilakukan. Islam merupakan agama dominan di Indonesia saat ini dan dijalankan bagi kebanyakan penduduknya. Hindu, tersebar luas di nusantara sebelum abat keempat, dan sekarang hanya tinggal dijalankan oleh sejumlah kecil penduduk, terutama di Pulau Bali. Sekitar 13% dari total penduduk Indonesia beragama Kristen, utamanya Protestan, dan banyak etnis China memeluk agama Buddhist-Taoist. Animisme (kepercayaan akan benda-benda non-manusia memiliki roh) dianut oleh suku-suku yang tinggal di daerah terpencil.
Islam telah dominan sejak tahun 1600-an, dan etnis Tolaki pada prakteknya merupakan Muslim Sunni . Akan tetapi, kepercayan tradisonal masih amat penting, terutama kepercayaan akan roh jahat. Hanya sekitar 1% masyarakat Tolaki beragama Kristen.

Jika ada kesalahan dari apa yang di tulis mohon di maklumi, dan segera mengirimkan pesan atau komentar sehingga penulis akan merubah, di utamakan yg lebih tau tentang suku tolaki, ya tentunya yang menganut suku tolaki itu sendiri. Trims.

SEMOGA MEMBERIKAN MANFAAT,,,!!!

Saturday 28 February 2015

TARI TRADISIONAL "LULO ALU" ASLI KABAENA





1.       Asal Muasal
Tari Lulo Alu adalah tarian yang berasal dari pulau kabaena (Tokotua) kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Konon  tarian ini dilaksanakan sebagai salah satu ritual adat Tokotua (Kabaena) atas rasa syukur dan terima kasih kepada sang pencipta atas melimpahnya rezki dari hasil panen beras pada masa lalu. Dimana menurut catatan sejarah pada zaman dahulu tokotia/Kabaena merupakan bagian dari kesultanan Buton yang merupakan penghasil beras sebagai pilar penguat Kesultanan Buton pada masa kejayaannya.
Pada awalnya tarian ini di bawakan oleh 12 penari, yang mana masing-masing di bagi atas 2 peranan, 6 pemegang alu (bermakna seorang laki-laki) dan 6 lagi memegang alat yang asumsikan sebagai nyiru (bermakna seorang perempuan) untuk menapis gabah/beras hasil panen.
Instrument music dari tari Lulo Alu ini hanya menggunakan alat sederhana, gendang dan gong yang di mainkan oleh orang berbeda dalam 1 gerakan yang seirama. Alunan gendang bisa mempengaruhi keindahan tarian ini tergantung tempo dari si pemain gendang dan gong tadi, manakala music melambat maka tarian pun melambat karena menyesuaikan instrument music gendang dan gong.

2.      Setelah Mengalami perombakan menghadapi masa modern (Aransemen)

Berbagai macam trik dan cara untuk mengaransemen tarian ini harus tetap focus pada apa sebenarnya maksud atau arti dari tarian tersebut sehingga bisa di maknai. Yang dulunya biasanya tarian ini biasa di bawakan sebagai bentuk rasa syukur, itu sih zaman dulu !, namun sekarang tarian ini hanya di bawakan pada acara tertentu seperti pada saat ada acara tertentu.
Contohnya:
1.       Acara perayaan 17 agustus yang tidak pernah terlupakan
2.       Penyambutan tamu kehormatan (gubernur, bupati dan lain-lain)
3.       Sebagai tarian pengisi ketika da acara sesrahan adat pernikahan (tergantung pada kondisi tertentu).
Next,  busana yang di gunakan cukup simple, menggunakan kain berwarna hitam bercorak kuning dan kemerahan dan menggunakan ikat kepala. Sedangkan alu (tongkat) yang di gunakan biasanya sih menggunakan pelepah daun agel, saya kurang tahu apa nama aslinya, setahu saya di kabaena biasa orang menyebutnya “PAPA RUMBIA”. Namun skarang karna memikirkan tahan lamanya alat tersebut di gunakan, sehingga banyak yang berinofasi untuk menggunakan bambu sekecil genggaman tangan, dan di beri sedikit pernak-pernik sehingga terlihat lebih menawan.
Harapan penulis, semoga kita sebagai bangsa Indonesia khususnya masyarakat kabaena, mampu berfikir positif, sehingga tarian tradisional seperti ini tidak di lupakan. Terus ajarkan kepada generasi kita karena ini bukan aib tetapi merupakan salah satu kebanggaan.

Semoga bermanfaat saudara pembaca….!!!!

Leumo to peasa laro…

TARI TRADISIONAL "LUMENSE" ASLI KABAENA

TARI LUMENSE


Sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan budaya sudah sepantasnya menjaga dan melestarikkan kekayaan yang kita miliki. Salah satu bentuk usah kita dalam melestarikan dan menjaga kekeayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia ini, yaitu dengan mengenal, mengetahui dan memahami makna dari buday itu sendiri. Tari merupakan salah satu seni gerak yang khas dan menjadi bukti keberaneka ragaman budaya bangsa kita, dengan lahir dan terbentuknya berbagai bentuk dan jenis tarian di setiap daerah masing-masing yang menjadi identitasnya.
Ada yang tahu Tari Tradisional dari Daerah Sulawesi Tenggara? Sulawesi tenggara merupakan salah satu propinsi yang ada di pulau Sulawesi, sehingga namanyapun di ambil dari nama pulaunya itu sendiri dan ditambah bagian pulau itu sendiri. Sulawesi tenggara terkenal memiliki salah satu tari tradisional yang khsa, yaitu Tari Lumense tepatnya berada di kec.kabaena kab.bombana
 Secara nama atau istilah, Lumense diambil dari bahasa penduduk setempat yang terdiri dari dua suku kata yaitu kata lume yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi, jadi secara istilah bahasa lumense berarti terbang tinggi. Tari lumense pada asal mulanya berasal dari Kabupaten Bombana Kecamatan Kabaena, suku yang menempati wilayah ini adalah suku Moronene bahkan hampir seluruh wilayah Sulawesi tenggara di huni suku moronene ini. suku moronene merupakan generasi dari suku melayu tua yang dating dari hindia pada zaman prasejaran, tarian Lumense adalah tarian yang berasal dari Kecamatan Kabaen, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Secara geografis, kecamatan kabaena merupakan pulau terbesar setelah buton dan Muna di Sulawesi tenggara. Menurut sejarah, dahulu kecamatan kabaena berada di bawah kekuasaan kerajaan Buton sehingga hubungan kekerabatan antara Kabaena dan buton pun sangat erat. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan di wilayah Kabaena termasuk tari Lumense.
 Menyambut tamu pada pesta-pesta, terutama pesta rakyat adalah salah satu tradisi tari lumense digelar atau dipertunjukkan oleh masyakat Kabaena. Jumlah Penari dalam tari tradisional ini ada dua belas orang perempuan, sehingga tari tradisional ini termasuk tarian kelompok perempuan. Dari kedua belas orang penari ini, 6 diantaranya berperan sebagai laki-laki dan 6 orang lainnya berperan sebagai perempuan. Semua penari dalam tarian ini menggunakan busana adat Kabaena, bagi para penari yang berperan sebagai perempuan memakai taincombo, taincombo merupakan sebutan baju adat Kabean dengan corak rok berwarna merah marun dan atasan baju hitam dengan bagian bawah baju mirip ikan duyung. Sedangkan untuk penari yang berperan sebagai laki-laki memakai taincombo yang dipadukan dengan selendang merah, selain itu Kelompok laki-laki memakai korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri, 
       Awal dari gerakan tari tradisional ini adalah dengan begerak maju mundur, bertukar tempat kemudian membentuk konfigurasi huruf Z lalu berubah menjadi S, moomani atau ibing merupakan sebutan gerakan yang dinamis yang ditampilkan. Klimaks dari tarian ini adalah ketika para penanari terus melakukan moomani kemudian menebaskan parang kepada pohon pisang, sampai pohon pisang itu jatuh bersamaan ke tanah. Penutup dari tarian ini adalah para penari membentuk konfigurasi setengah lingkaran sambil saling mengaitkan tangan lalu menggerakannya naik turun sambil mengimbangi kaki yang maju mundur. Tarian ini diiringi oleh musik yang berasal dari alat musik gendang dan gong besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu). Untuk mengiringi tarian ini hanya dibutuhkan tiga orang penabuh alat musik tersebut sementara dalam memainkan tarian ini dibutuhkan beberapa anakan pohon pisang sebagai property pendukung. Namun pada perkembangannya tidak semua rangkaian gerakan dalam tarian ini di pertunjukkan, karena mengingat durasi waktu yang terkadang dibatasi, terutama pada penyambutan tamu kenegaraan yang waktunya haya terbatas
       Sejarah mencatat ritual pe-olia merupakan sarana untuk mengelar tarian Lumense. ritual pe-olia adalah ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan aneka jenis makanan. Ritual ini dimaksudakan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana. Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang. Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton. Seiring dengan perkembangan, fungsi tari Lumense pun mulai bergeser. Ada pendapat yang mengatakan bahwa tari Lumense bercerita tentang kondisi sosial masyarakat Kabaena saat ini. Corak produksi masyarakat Kabaena adalah bercocok tanam atau bertani, masyarakat masih melakukan pola tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan para pria yang berprofesi sebagai petani. Simbol pohon pisang dalam tarian ini bermakna bencana yang bisa dicegah. Oleh karena itu klimaks dari tarian ini adalah menebang pohon pisang. Artinya, setelah pohon pisang tumbang bencana bisa dicegah. Namun sekarang tari Lumense sudah tidak lagi menjadi ritual pengusiran roh. Akan tetapi, Tari Lumense masih di pertunjukan oleh masyarakat Kabaena pada acara-acara tertentu seperti pengantar acara pernikahan.


SEMOGA MENAMBAH WAWASAN….!!!!!!!!!!