Rumah Tangga Suku Moronene
Setelah pada posting sebelumnya
penulis telah menulis tentang SEJARAH SINGKAT SUKU MORONEN, maka pada kesempatan ini
penulis akan coba berikan bagaimana rumah tangga suku morornene.
Berbicara tentang rumah tangga,
tentunya semua orang pada khususnya menginginkan rumah tangga yang sakinah,
mawadah dan warahma. Begitupun dengan suku moronene, hidup berkerabat, akrab
dan saling menjaga satu sama lain itu sudah menjadi tanggung jawab yang di
turunkan dari leluhur. Anak di wajibkan untuk brsekolah, menuntut ilmu agama
dan lain sebagainya. Ras dari suku morornene hampir 76% berkulit putih. Tempat
tinggal asli dari moronene itu masih menggunakan rumah panggung, hala tersebut
jika di lihat pada masa lampau, namun sekrang tidak domainan lagi yang menggunakan
rumah panggung, karna system perbandingan tingkat kesulitan mendapatkan bahan
material untuk membangun rumah panggung itu cukup sulit untuk mendaptkanya,
maka penduduk mulai beralih ke rumah permananen.
Contohnya saja di pulau kabaena,
memang sih di sana rumah yang dominan itu rumah panggung, tapai harus di ingat
bahwa rumah tersebut sudah berdiri sejak lama, tepatnya mungkin pada saat belum
di kenalnya PolHut. Namun setelah adanya polhut biaya mendapatkan bahan
materialnya bisa di bilang dua kali liapat. Jadi sekarang di sana sudah mulai
beralih dengan rumah permanaen, di tambah lagi dengan ada pengajuan proposal,
bahwasanya kabaena akan berdiri sendiri sebagai daerah Kepulauan. Syukur
Alhamdulillah, semoga bisa di realisasikan dengan baik.
Susunan masyarakat suku
Moronene adalah berdasarkan penilaian darah yang dibagi atas:
Ø Mokole, yaitu
golongan bangsawan, dan puteranya diberi gelar Ndau dan putrinya diberi
gelar Mbisi. Atau lazim juga gelar untuk keduanya adalah anamea.
Ø Limbo, yaitu
golongan pemangku adat yang menentukan dan mengangkat raja (untuk memerintah)
Ø Sangkinaa,
yaitu golongan rakyat biasa
Ø Ata, yaitu
golongan budak, terbagi atas 2 yaitu Karena turunannya, biasanya tinggal
disekitar rumah raja untuk selalu mengabdi kepada raja atau tinggal di dalam
rumah raja yang lazim disebut kungku holue (tukang masak). Yang Kedua
Karena tidak dapat bayar hutangnya, sehingga harus tinggal disekitar rumah raja
atau orang yang telah dibayarkan hutangnya sehingga lazim disebut tepo’ata.
Orang Moronene kebanyakan adalah pemeluk Agama
Islam dan selain itu ada juga yang memeluk Agama Kristen. Walaupun mereka sudah
memeluk agama Islam atau Kristen, tetapi masih juga dijumpai unsur-unsur agama
suku. Unsur-unsur itu muncul dalam beberapa upacara adat yang masih juga
dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkungan hidup
individu, seperti antara lain pada acara pinokompopinda pali. Selain
itu, unsur-unsur itu juga tampak dalam beberapa upacara adat yang sampai
sekarang masih dilakukan orang berhubungan dengan pertanian, sedangkan unsur
yang sama juga tampak dalam ilmu dukun yang sampai sekarang masih hidup.
Dalam ilmu dukun atau pada saat melaksanakan ritual
peralihan dalam upacara perkawinan kita akan mendengar serangkaian kalimat yang
diucapkan oleh dukun atau Tolea yang dimulai dengan hitungan : asa-orua-otolu-opaa
(satu-dua-tiga-empat) yang diucapkan empat kali. Adapun hitungan tersebut
adalah melambangkan nama empat dewa yang diutamakan dalam upacara pemujaan,
yang biasa dilakukan oleh suku Moronene di waktu dulu.
Adapun Keempat Dewa Tersebut adalah :
Adapun Keempat Dewa Tersebut adalah :
- Sangia
Laamoa,
atau sering disingkat Laamoa yang artinya sangia (dewa), Laamoa
(udara), yaitu dewa yang menguasai udara. Diyakini bahwa dewa tersebut
sering mendatangkan penyakit cacar, penyakit panas dan sejenisnya.
- Sangia
mponga’e,
yaitu dewa perang yang diyakini bahwa dewa tersebut dapat menjadikan orang
berani menghadapi bahaya terutama pada saat perang. Demikian juga bila
seseorang sedang marah, dengan emosi yang sangat tinggi mukanya akan
kelihatan merah dan akan merasa panas sehingga pingsan. Oleh karena itu
diyakini pula bahwa dewa tersebut adalah dewa yang menguasai api (dewa api
= sangiano api).
- Sangia
I’olaro,
yaitu dewa laut atau sangia laa dan sering disingkat laa
yaitu dewa air yang mengusai laut dan air. Diyakini bahwa dewa tersebut
sering mendatangkan sakit kuning, bengkak badan, dan lain-lain.
- Sangia
tumondete
atau sering juga disebut sangiano wita yaitu dewa tanah yang
menguasai tanah. Diyakini bahwa dewa tersebut sering mendatangkan penyakit
luka/borok yang sukar disembuhkan.
Selain keempat dewa tersebut diyakini juga adanya dewa yang
tertinggi yaitu disebut sangia
damontoe yang artinya dewa yang berada ditempat yang maha tinggi (dewa
alam atas) yang lazim disebut Apu yang artinya Tuhan. Pemujaan terhadap
keempat dewa tersebut dilakukan melalui doa-doa dengan harapan akan memperoleh
kebebasan petaka atau keadaan yang menyedihkan. Selain itu juga untuk menolak
bencana yang diyakini akan menimpah diri seseorang, mentawarkan atau
menetralisir kekuatan gaib yang membahayakan. Demikian juga diyakini bahwa
hitungan asa-orua-otolu-opaa yang melambangkan nama keempat dewa
tersebut adalah sejalan dengan pandangan hidup yang mengatakan bahwa manusia
itu terdiri dari empat unsur yaitu tanah, air, api, udara.
Suku moronene sangat mengahargai
sesamanya, terhadap suku lain, satu hal pasti ketika kita berada di sekeliling
mereka, kita akan merasakan aman jika kita menghargai mereka, namun sebaliknya
jika kita memiliki sifat buruk mereka akan lebih buruk lagi. Jadi intinya
tergantung bagai mana cara kita masing-masing.
Dalam
pergaulan sehari-hari dijumpai bahwa pada umumnya masyarakat suku Moronene itu peramah,
muda menghormati yang tua, suku menjalin persahabatan. Beberapa istilah sopan
santunnya antara lain :
Ø Ampadea : berlaku sopan, contoh bila orang
tua sedang berbicara, anak-anak tidak boleh ikut campur (ikut berbicara). Bila
duduk menghadap Raja, kaki dan tangan dilipat.
Ø Tabea : diucapkan bila lewat di depan
orang.
Ø Paramisi : diucapkan bila hendak mau pulang
usai bertamu.
Ø Mo’antani : menyuguhkan sirih pinang bila ada
orang yang bertamu dirumah (bagi yang makan sirih).
Ø Mo’mpoluluako : menyuguhkan rokok (bagi yang
merokok) bila ada orang yang bertamu dirumah.
Ø Konianto’u : sifat terpuji, seperti jujur,
rajin, dan tekun mengerjakan suatu pekerjaan.
Ø Metokia : menjalin persahabatan antara dua
orang pria yang baru berkenalan. Kedua orang tersebut bila bertemu akan selalu
saling menyapa tokia yang artinya sobat/sahabat.
Cara mencari nafkah di dalam
system kekeluargaan moronene yakni dimana suami dan istri sama-sama mencari nafkah seperti
dalam pertanian. Suami dan istri akan bekerja bersama-sama di ladang atau di
sawah seperti mencangkul, menanam, menyiangi, dan menuai.
Semoga bermanfaat saudara pembaca, kalau ada yang ingin
berkunjung ke daerah yang di diami suku moronene, monggo, silahkan, mereka akan
membukakan pintu, di sana juga terdapat banyak monument bersejarang, gua dan
lain-lain. Khususnya di daerah pulau kabaena yang eksotik. Ini sekalian promosi
dari penulis hehehe
Wassalam…!!!
No comments:
Post a Comment