Monday, 2 March 2015

STRUKTUR KELUARGA SUKU MORONENE

Rumah Tangga Suku Moronene

Setelah pada posting sebelumnya penulis telah menulis tentang SEJARAH SINGKAT SUKU MORONEN, maka pada kesempatan ini penulis akan coba berikan bagaimana rumah tangga suku morornene.
Berbicara tentang rumah tangga, tentunya semua orang pada khususnya menginginkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahma. Begitupun dengan suku moronene, hidup berkerabat, akrab dan saling menjaga satu sama lain itu sudah menjadi tanggung jawab yang di turunkan dari leluhur. Anak di wajibkan untuk brsekolah, menuntut ilmu agama dan lain sebagainya. Ras dari suku morornene hampir 76% berkulit putih. Tempat tinggal asli dari moronene itu masih menggunakan rumah panggung, hala tersebut jika di lihat pada masa lampau, namun sekrang tidak domainan lagi yang menggunakan rumah panggung, karna system perbandingan tingkat kesulitan mendapatkan bahan material untuk membangun rumah panggung itu cukup sulit untuk mendaptkanya, maka penduduk mulai beralih ke rumah permananen.
Contohnya saja di pulau kabaena, memang sih di sana rumah yang dominan itu rumah panggung, tapai harus di ingat bahwa rumah tersebut sudah berdiri sejak lama, tepatnya mungkin pada saat belum di kenalnya PolHut. Namun setelah adanya polhut biaya mendapatkan bahan materialnya bisa di bilang dua kali liapat. Jadi sekarang di sana sudah mulai beralih dengan rumah permanaen, di tambah lagi dengan ada pengajuan proposal, bahwasanya kabaena akan berdiri sendiri sebagai daerah Kepulauan. Syukur Alhamdulillah, semoga bisa di realisasikan dengan baik.
Susunan masyarakat suku Moronene adalah berdasarkan penilaian darah yang dibagi atas:
Ø  Mokole, yaitu golongan bangsawan, dan puteranya diberi gelar Ndau dan putrinya diberi gelar Mbisi. Atau lazim juga gelar untuk keduanya adalah anamea.
Ø  Limbo, yaitu golongan pemangku adat yang menentukan dan mengangkat raja (untuk memerintah)
Ø  Sangkinaa, yaitu golongan rakyat biasa
Ø  Ata, yaitu golongan budak, terbagi atas 2 yaitu Karena turunannya, biasanya tinggal disekitar rumah raja untuk selalu mengabdi kepada raja atau tinggal di dalam rumah raja yang lazim disebut kungku holue (tukang masak). Yang Kedua Karena tidak dapat bayar hutangnya, sehingga harus tinggal disekitar rumah raja atau orang yang telah dibayarkan hutangnya sehingga lazim disebut tepo’ata.
Orang Moronene kebanyakan adalah pemeluk Agama Islam dan selain itu ada juga yang memeluk Agama Kristen. Walaupun mereka sudah memeluk agama Islam atau Kristen, tetapi masih juga dijumpai unsur-unsur agama suku. Unsur-unsur itu muncul dalam beberapa upacara adat yang masih juga dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkungan hidup individu, seperti antara lain pada acara pinokompopinda pali. Selain itu, unsur-unsur itu juga tampak dalam beberapa upacara adat yang sampai sekarang masih dilakukan orang berhubungan dengan pertanian, sedangkan unsur yang sama juga tampak dalam ilmu dukun yang sampai sekarang masih hidup.
Dalam ilmu dukun atau pada saat melaksanakan ritual peralihan dalam upacara perkawinan kita akan mendengar serangkaian kalimat yang diucapkan oleh dukun atau Tolea yang dimulai dengan hitungan : asa-orua-otolu-opaa (satu-dua-tiga-empat) yang diucapkan empat kali. Adapun hitungan tersebut adalah melambangkan nama empat dewa yang diutamakan dalam upacara pemujaan, yang biasa dilakukan oleh suku Moronene di waktu dulu.

Adapun Keempat Dewa Tersebut adalah :
  1. Sangia Laamoa, atau sering disingkat Laamoa yang artinya sangia (dewa), Laamoa (udara), yaitu dewa yang menguasai udara. Diyakini bahwa dewa tersebut sering mendatangkan penyakit cacar, penyakit panas dan sejenisnya.
  2. Sangia mponga’e, yaitu dewa perang yang diyakini bahwa dewa tersebut dapat menjadikan orang berani menghadapi bahaya terutama pada saat perang. Demikian juga bila seseorang sedang marah, dengan emosi yang sangat tinggi mukanya akan kelihatan merah dan akan merasa panas sehingga pingsan. Oleh karena itu diyakini pula bahwa dewa tersebut adalah dewa yang menguasai api (dewa api = sangiano api).
  3. Sangia I’olaro, yaitu dewa laut atau sangia laa dan sering disingkat laa yaitu dewa air yang mengusai laut dan air. Diyakini bahwa dewa tersebut sering mendatangkan sakit kuning, bengkak badan, dan lain-lain.
  4. Sangia tumondete atau sering juga disebut sangiano wita yaitu dewa tanah yang menguasai tanah. Diyakini bahwa dewa tersebut sering mendatangkan penyakit luka/borok yang sukar disembuhkan.
Selain keempat dewa tersebut diyakini juga adanya dewa yang tertinggi yaitu disebut sangia damontoe yang artinya dewa yang berada ditempat yang maha tinggi (dewa alam atas) yang lazim disebut Apu yang artinya Tuhan. Pemujaan terhadap keempat dewa tersebut dilakukan melalui doa-doa dengan harapan akan memperoleh kebebasan petaka atau keadaan yang menyedihkan. Selain itu juga untuk menolak bencana yang diyakini akan menimpah diri seseorang, mentawarkan atau menetralisir kekuatan gaib yang membahayakan. Demikian juga diyakini bahwa hitungan asa-orua-otolu-opaa yang melambangkan nama keempat dewa tersebut adalah sejalan dengan pandangan hidup yang mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari empat unsur yaitu tanah, air, api, udara.

Suku moronene sangat mengahargai sesamanya, terhadap suku lain, satu hal pasti ketika kita berada di sekeliling mereka, kita akan merasakan aman jika kita menghargai mereka, namun sebaliknya jika kita memiliki sifat buruk mereka akan lebih buruk lagi. Jadi intinya tergantung bagai mana cara kita masing-masing.
Dalam pergaulan sehari-hari dijumpai bahwa pada umumnya masyarakat suku Moronene itu peramah, muda menghormati yang tua, suku menjalin persahabatan. Beberapa istilah sopan santunnya antara lain :
Ø  Ampadea : berlaku sopan, contoh bila orang tua sedang berbicara, anak-anak tidak boleh ikut campur (ikut berbicara). Bila duduk menghadap Raja, kaki dan tangan dilipat.
Ø  Tabea : diucapkan bila lewat di depan orang.
Ø  Paramisi : diucapkan bila hendak mau pulang usai bertamu.
Ø  Mo’antani : menyuguhkan sirih pinang bila ada orang yang bertamu dirumah (bagi yang makan sirih).
Ø  Mo’mpoluluako : menyuguhkan rokok (bagi yang merokok) bila ada orang yang bertamu dirumah.
Ø  Konianto’u : sifat terpuji, seperti jujur, rajin, dan tekun mengerjakan suatu pekerjaan.
Ø  Metokia : menjalin persahabatan antara dua orang pria yang baru berkenalan. Kedua orang tersebut bila bertemu akan selalu saling menyapa tokia yang artinya sobat/sahabat.
Cara mencari nafkah di dalam system kekeluargaan moronene yakni dimana suami dan istri sama-sama mencari nafkah seperti dalam pertanian. Suami dan istri akan bekerja bersama-sama di ladang atau di sawah seperti mencangkul, menanam, menyiangi, dan menuai.
Semoga bermanfaat saudara pembaca, kalau ada yang ingin berkunjung ke daerah yang di diami suku moronene, monggo, silahkan, mereka akan membukakan pintu, di sana juga terdapat banyak monument bersejarang, gua dan lain-lain. Khususnya di daerah pulau kabaena yang eksotik. Ini sekalian promosi dari penulis hehehe


Wassalam…!!!

No comments:

Post a Comment