CIRI KHAS PERKAWINAN ADAT TOLAKI
Setelah postingan sebelumnya kita membahasa sejarah suku tolaki, maka pada kesempatan kali ini kita akan membahas sedikit tentang bagaimana struktur atau proses perkawinan adat suku tolaki…. Cekidot…!!!
Seperti
kita ketahui bersama bahwa, suku-suku bangsa yang tersebar dimuka bumi
Nusantara tercinta ini, bahkan mungkin dibelahan dunia sekalipun, pasti
memiliki acara upacara adat atau kebiasaan-kebiasaan perkawinan adat menurut
tradisi leluhurnya masing-masing. Demikian pula suku bangsa Tolaki memiliki
acara upacara adat perkawinan dengan cirri khas tersendiri yang membedakan
dengan suku-suku bangsa lainnya ialah adanya orang Tolaki menggunakan benda
adat Kalosara dalam setiap prosesi acara upacara adat perkawinan Tolaki
(Muslimin Suud 2005). Adapun perkawinan Adat Tolaki memiliki istilah ialah,
Medulu yang artinya berkumpul, bersatu, dan Mesanggina yang berarti bersama
dalam satu piring,” sedangkan istilah yang paling umum dalam masyarakat adat
Tolaki adalah Merapu atau Perapua yang berarti Merapu, keberadaan suami, istri
anak-anak, mertua, paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, nenek, dan cucu adalah
merupakan suatu pohon yang rimbun dan rindang, (A. Tarimana 1984). Selain
pengertian perkawinan diatas ada lima atau tahapan prosesi acara upacara Adat
perkawinan Tolaki Pertama,”Metiro atau Menggolupe” yang artinya mengintip
meyelidiki calon istri. Kedua,”Mondutudu” yang artinya malamar jajakan. Ketiga,”Melosoako”
yang artinya melamar sesungguhnya. Keempat,”Mondonggo Niwule” yang artinya
meminang. Kelima,”Mowindahako” yang artinya menyerahkan pokok Adat, dilanjutnya
acara pernikahan. Semua tahapan prosesi Adat disebutkan diatas, kecuali tahapan
” Metiro atau Monggolupe” diperankan Oleh “Tolea” dan Pabitara, dengan selalu
ditampilkan menggunakan pranata Kalo”.
Apa maksud ditampilkan Adat Kalosara, dalam acara upacara Adat Perkawinan Tolaki? Menurut pandangan orang Tolaki bahwa, suatu perkawinan merupakan sesuatu yang “Sakral”. Betapa tidak melibatkan kedua belah pihak keluarga besar, jika tadinya saling “cuek” alias kurang intim atau tidak saling kenal, kini disatukan menjadi “suatu kekuatan” dalam kesatuan rumpun keluarga besar posisinya adalah sebagai perkawinan yang akrab dan mulia bagi kehidupan membina keluarga agar hidupnya bahagia lahir dan batin. Selain pandangan diatas, kedudukan pihak keluarga wanita pada dasarnya adalah, pihak yang “ditinggalkan derajatnya”. Itulah sebabnya Adat Kalosara sebagai symbol “Kebesaran” orang Tolaki itu, wajib digelar dihadapan keluarga besar wanita tersebut. Pengertian dan Kedudukan Kalosara Dalam Perkawinan Adat Tolaki. Ketika berbicara Kalo sebagai bahasa simbolik dalam kehidupan sehari-hari orang Tolaki, disini penulis batasi fungsi Kalo dalam pengertian sempit, hanya membicarakan urusan adat istiadat Tolaki, seperti urusan “Perapua” atau perkawinan, tidak membahas makna filosofi dalam arti luas. Apa sebab ? Karena membicarakan Kalo umumnya terdiri dari banyak macam. Seperti misalnya jika anda menjumpai Kalo sebagai benda, cukup “Kalo” saja. Beda sebutannya ketika benda Kalo digelar pada prosesi adat istiadat seperti acara “mowindahako”, disana disebut “Kalosara”. Hakikat Kalosara terdiri : wadah anyaman, kain putih dan rantai yang dililit terdiri tiga buah itu. (terlampir gambar Kalosara).
Apa maksud ditampilkan Adat Kalosara, dalam acara upacara Adat Perkawinan Tolaki? Menurut pandangan orang Tolaki bahwa, suatu perkawinan merupakan sesuatu yang “Sakral”. Betapa tidak melibatkan kedua belah pihak keluarga besar, jika tadinya saling “cuek” alias kurang intim atau tidak saling kenal, kini disatukan menjadi “suatu kekuatan” dalam kesatuan rumpun keluarga besar posisinya adalah sebagai perkawinan yang akrab dan mulia bagi kehidupan membina keluarga agar hidupnya bahagia lahir dan batin. Selain pandangan diatas, kedudukan pihak keluarga wanita pada dasarnya adalah, pihak yang “ditinggalkan derajatnya”. Itulah sebabnya Adat Kalosara sebagai symbol “Kebesaran” orang Tolaki itu, wajib digelar dihadapan keluarga besar wanita tersebut. Pengertian dan Kedudukan Kalosara Dalam Perkawinan Adat Tolaki. Ketika berbicara Kalo sebagai bahasa simbolik dalam kehidupan sehari-hari orang Tolaki, disini penulis batasi fungsi Kalo dalam pengertian sempit, hanya membicarakan urusan adat istiadat Tolaki, seperti urusan “Perapua” atau perkawinan, tidak membahas makna filosofi dalam arti luas. Apa sebab ? Karena membicarakan Kalo umumnya terdiri dari banyak macam. Seperti misalnya jika anda menjumpai Kalo sebagai benda, cukup “Kalo” saja. Beda sebutannya ketika benda Kalo digelar pada prosesi adat istiadat seperti acara “mowindahako”, disana disebut “Kalosara”. Hakikat Kalosara terdiri : wadah anyaman, kain putih dan rantai yang dililit terdiri tiga buah itu. (terlampir gambar Kalosara).
Kini
diuraikan benda Kalo berdasarkan bahan pembuatannya. Bahan baku utama benda Kalo
diperoleh dari alam alias hutan belantara. Secara harfiah Kalo adalah benda
yang berbentuk lingkaran dari rotan kecil pilihan disebut “Uewai” dipilih tiga
buah. Cara dibuat dengan lingkaran lilitan atau dipilin dari arah kiri ke kanan
disebut “Kalohana”. Tiga jalur itu berbentuk lingkaran bundar atau sirkel
sesuai ukuran yang sudah ditentukan. Ada dua jenis bentuknya. Jika garis
menengah 45 cm disebut “Tehau Bose”, Kalo ini diperuntukan pejabat Bupati
keatas. Sedangkan ukuran 40 cm disebut “Meula Nebose” diperuntukan pejabat
Camat kebawah.
Setelah itu ada dua model ikatan ujung Kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol sedangkan yang dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi , maka model Kalo ini diperuntukan masalah adat istiadat seperti perkawinan dll. Adapun makna yang menonjol, ujung rotan itu adalah penghargaan pihak penerima. Sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri pihak pengaju.
Setelah itu ada dua model ikatan ujung Kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol sedangkan yang dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi , maka model Kalo ini diperuntukan masalah adat istiadat seperti perkawinan dll. Adapun makna yang menonjol, ujung rotan itu adalah penghargaan pihak penerima. Sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri pihak pengaju.
Model
kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka 8, maka benda
Kalosara tersebut dipergunakan khusus acara upacara adat “mosehe” dalam hal ini
seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain. Inilah yang dimaksud
pengertian Kalo dalam arti luas, disana banyak dibicarakan baik Kalo sebagai “konsep”
maupun Kalo sebagai bahasa “simbolik” (A. Tarimana, 1985). Berkaitan fungsi
Kalo diatas orang Tolaki masih menganggap Kalo sebagai “kramat dan sakti” yakni
keberadaan benda Kalo mampu mempersatukan baik keinginan / cita-cita maupun
melindungi hak-hak asasi setiap anggota masyarakat Tolaki. Namun hanya benda
Kalo yang “sakti” itu mamppu menyatukan warga Tolaki dimanapun mereka berada
hingga hari ini (Arsamid Al Ashari, 2011). Pertanyaan berikutnya, dalam
kedudukan Kalosara dalam perkawinan Adat Tolaki, mengapa harus “Wajib”
disunguhkan Adat Kalosara dalam prosesi Adat perkawinan? Karena dengan
menggelar prosesi Adat Kalosara ialah sebagai hukum Adat-Istiadat atau Norma
Adat dimana kedudukannya sebagai alat “legitimasi” atau pengesahan perkawinan
Adat Istiadat itu sendiri. Intinya adalah “Membangun dan membina Rumpun
Keluarga”, yang mungkin pernah hilang misalnya, serta mempererat tali
silaturahmi. Maka wajib melewati suatu prosesi Adat Kalosara sebagai simbol
penghormatan tertinggi sebagaimana disebutkan diatas. Kemudian dalam perjalanan
sejarah Kalosara sebelum ajaran “agama Samawi “ masuk di wilayah Andolaki,
menjadikan norma Akidah, kemudian diwujudkan Sara atau O’Sara sebagai nilai dan
norma Adat yang harus ditaati. Itulah sebabnya ketika prosesi Adat perkawinan
Tolaki yang digelar disaat acara upacara Mowindahako harus didahulukan
pelaksanaannya. Kemudian dilanjutkan acara upacara pernikahan menurut syariat
Islam yaitu pembacaan akad nikah dan ijab Kabul. Berbicara perkawinan Islam,
sah perkawinan tersebut apabila ada dua orang saksi dari pihak keluarga
laki-laki dan saksi dari pihak keluarga wanita, maka resmilah Pasutri membina
rumah tangga tersebut. Akan halnya pandangan orang Tolaki, selain dihadirkan
saksi kedua belah pihak keluarga tersebut diatas, belum “sah” atau belum diakui
sebelum digelar perkawinan adat Tolaki. Tujuan digelar adat Kalosara adalah
sebagai norma adat. Setelah itu wajib pula penyerahan “Popolo” membayar mas
kawin, dilanjutkan acara “Tekonggo” yang artinya menggelar pesta besar atau
kecil sebagai pengakuan masyarakat luas bahwa perkawinan tersebut resmi atau
sah menurut perkawinan Adat Tolaki. Kemudian jika ada anggota masyarakat Tolaki
melakukan perkawinan diluar adat tersebut diatas alias melanggar adat, maka
patut dipertanyakan keberadaannya. Prosedur dan Tata Cara Menggelar Acara Upacara
Adat Perkawinan Tolaki adalah penggunaan benda Adat Kalo dalam acara upacara
Adat perkawinan Tolaki. Dimana berperannya kedua perangkat Adat “Tolea” dan
“Pabitara”. Posisi mereka sebagai “Sutradara” mengatur jalannya “Mombesara”,
menegakkan hukum Adat “Selewatano” atau “Tetenggona Osara” artinya sesuai
urutan-urutan adat yang harus ditempuh.
Adapun
wajib isi adat dipenuhi adalah 4 pokok adat
(1)
“Pu’uno Kasu” yang artinya isi pokok adat terdiri : seekor kerbau, sebuah gong,
emas perhiasan wanita dan satu pis kain kaci. Yang tiga diatas dapat
disubtitusi Rp. 25.000, kecuali kain
kaci tetap ditampilkan
(2)
“Tawano Kasu” artinya daunnya 40 buah sarung adat
(3)
“Ihino Popolo” artinya seperangkat alat sholat sebagai mas kawin, serta biaya
pesta dan
(4)
“Sara Peana” artinya benda-benda adat pakaian wanita sebagai bentuk penghargaan
orang tua atas pengasuhnya.
Jika
dijumpai tidak terpenuhi benda-benda adat misalnya, bukan empat isi pokok Adat
diatas, maka berlaku semangat kekeluargaan yaitu prinsip “Mesambepe Meambo”
artinya musyawarah mufakat dimana Kalosara sebagaimana jati diri dan karakter
suku Bangsa Tolaki Kalosara yaitu “Nggo Mokonggadui O’Sara” artinya semua
“perlakuan” diatas yang “menggenapkan” adalah adat atau Osara.
Satu
lagi upacara Adat perkawinan yang sering dijumpai dalam masyarakat Tolaki. Disana
ada system adat disebut perkawinan “Morumbadoleesi” yang artinya melaksanakan
dua macam acara dalam waktu bersamaan yakni acara “Mendutudu” dan acara
“Mondongo Niwule”. Perkawinan “Morumbadoleaha” yakni melksanaklan tiga macam
acara dalam waktu yang bersamaan yaitu acara “Mondutudu, Mondongoniwule dan
Mowindahako”. Disinilah adat perkawinan Tolaki dapat mengikuti perkembangan
zaman. Jika tadinya 5 tahapan dapat dilakukan diasaat “Mowindahako” waktu
bersamaan 4 tahapan tersebut.
Dari
pelaksanaan perkawinan adat Tolaki diatas ketika mengikuti perkembangan zaman
dan kemajuan teknologi informasi komunikasi bahwa “Mowindahako” orang Tolaki
itu, semua bisa diatur asal isi pokoknya adat wajib dipenuhi. Disinilah peranan
Tolea sebagai “negosiator”. Boleh jadi popolo bisa ringan, berlaku asas
musyawarah mufakat kedua belah pihak. Apalagi pihak keluarga wanita memahami
“siapa” calon mantu tersebut?. Menurut pandangan orang Tolaki, ketika “Mowada
Popolo” tidak mengenal “Meoli O’ana” yang artinya membebani pihak keluarga pria
membayar biaya popolo misalnya.
Wanita
Yang Pantang Dijadikan Istri Barangkali hampir semua suku-suku bangsa yang ada
di belahan dunia memiliki “perkawinan terlarang” ? Apalagi berbicara keberadaan
suku-suku bangsa di Indonesia, sangat memahami masalah “inces tabu”, maksudnya
jika terjadi perkawinan “terlarang” akan mendapat kualat, kutukan atau dosa
berjamaah dari orang tua, membawa aib keluarga, bahkan rusak nama baik
sekampung tersebut.
(1)
Kawin dengan ibu kandung atau ibu tiri,
(2)
Kawin dengan anak kandung atau anak tiri,
(3)
Kawin dengan bibi kandung,
(4)
Kawin dengan saudara kandung.
Ketika
Anggota Masyarakat Melangkahi Upacara Adat Perkawinan Tolaki, Ada lima “Model”
perkawinan tidak normal bagi mereka cewek maupun cowok anak muda Tolaki, baik
dahulu kala maupun dewasa ini yang dikategorikan “Melanggar” hukum adat
perkawinan.
(1)
Kawin lari alias silariang
(2)
Kawin sudah hamil diluar nikah
(3)
Kawin rampas disebut “Mombolasuako Luale
(4)
Kawin dilaporkan kepada orang tuanya karena sesuatu hal
(5)
Kawin tertangkap basah ketika sedang Indehoi atau berhubungan seks.
Dari
semua perilaku kawin tidak normal diatas, tidak bisa ditolerir harus
diselesaikan secara adat. Catatan ada yang kawin resmi lewat KUA namun tidak
melalui kawin Adat Tolaki disini perlakuan tersendiri. Adapun cara penyelesaian
adat tersebut, melalui upacara “Mesokei” artinya datang “Membentengi” untuk
suatu upaya membujuk pihak keluarga wanita yang dipermalukan itu dengan
membayar sejumlah ganti rugi. Disini pula wajib menggelar Kalosara, tujuannya
mencegah perselisihan paham alias bombe yang mungkin bisa berujung pertikaian
diantara mereka. Selanjutnya tujuan pelaksanaan Adat perkawinan tersebut adalah
dalam mengukuhka kedudukan “Masyarakat Hukum Adat” sebagaimana disebutkan
diawal tulisan. Kemudian dikaitkan dalam penerapan hukum Adat Tolaki yang
selalau ditaati anggota masyarakat yaitu sebagaimana terurai dalam falsafah
puitis Tolaki, “Inae Kona Sara Iyeto Pinesara Inae Lia Sara Iyeto Pinekasara”.
Artinya siapa yang menghargai adat, dia akan dihormati, siapa yang tidak
menghargai adat, dia tidak akan dihormati.
Bagaimana
saudara pemaca, setelah membaca postingan di atas, apakah ada di antara kalian
yang ingin atau berminat meminang pasangan dari suku tolaki??? Heheh
:D
No comments:
Post a Comment