Tari Lulo Alu adalah tarian yang berasal dari pulau kabaena
(Tokotua) kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Konon tarian ini dilaksanakan sebagai salah satu
ritual adat Tokotua (Kabaena) atas rasa syukur dan terima kasih kepada sang
pencipta atas melimpahnya rezki dari hasil panen beras pada masa lalu. Dimana
menurut catatan sejarah pada zaman dahulu tokotia/Kabaena merupakan bagian dari
kesultanan Buton yang merupakan penghasil beras sebagai pilar penguat
Kesultanan Buton pada masa kejayaannya.
Pada awalnya tarian ini di bawakan
oleh 12 penari, yang mana masing-masing di bagi atas 2 peranan, 6 pemegang alu
(bermakna seorang laki-laki) dan 6 lagi memegang alat yang asumsikan sebagai nyiru
(bermakna seorang perempuan) untuk menapis gabah/beras hasil panen.
Instrument music dari tari Lulo Alu
ini hanya menggunakan alat sederhana, gendang dan gong yang di mainkan oleh
orang berbeda dalam 1 gerakan yang seirama. Alunan gendang bisa mempengaruhi
keindahan tarian ini tergantung tempo dari si pemain gendang dan gong tadi,
manakala music melambat maka tarian pun melambat karena menyesuaikan instrument
music gendang dan gong.
2. Setelah Mengalami perombakan menghadapi masa
modern (Aransemen)
Berbagai macam trik dan cara untuk
mengaransemen tarian ini harus tetap focus pada apa sebenarnya maksud atau arti
dari tarian tersebut sehingga bisa di maknai. Yang dulunya biasanya tarian ini
biasa di bawakan sebagai bentuk rasa syukur, itu sih zaman dulu !, namun
sekarang tarian ini hanya di bawakan pada acara tertentu seperti pada saat ada
acara tertentu.
Contohnya:
1.
Acara perayaan 17 agustus yang tidak pernah
terlupakan
2.
Penyambutan tamu kehormatan (gubernur, bupati
dan lain-lain)
3.
Sebagai tarian pengisi ketika da acara sesrahan
adat pernikahan (tergantung pada kondisi tertentu).
Next, busana yang di gunakan cukup simple,
menggunakan kain berwarna hitam bercorak kuning dan kemerahan dan menggunakan
ikat kepala. Sedangkan alu (tongkat) yang di gunakan biasanya sih menggunakan
pelepah daun agel, saya kurang tahu apa nama aslinya, setahu saya di kabaena
biasa orang menyebutnya “PAPA RUMBIA”. Namun skarang karna memikirkan tahan
lamanya alat tersebut di gunakan, sehingga banyak yang berinofasi untuk
menggunakan bambu sekecil genggaman tangan, dan di beri sedikit pernak-pernik
sehingga terlihat lebih menawan.
Harapan penulis, semoga kita
sebagai bangsa Indonesia khususnya masyarakat kabaena, mampu berfikir positif,
sehingga tarian tradisional seperti ini tidak di lupakan. Terus ajarkan kepada
generasi kita karena ini bukan aib tetapi merupakan salah satu kebanggaan.
Semoga bermanfaat saudara pembaca….!!!!
Leumo to peasa laro…